Minggu, 01 Mei 2011

Sangat Berbahaya, Pelajar Radikal Jadi Garapan Teroris

Radikalisme pada pelajar Jakarta sudah pada taraf mencemaskan. Berdasarkan survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) sebanyak 48,9 persen siswa di Jakarta setuju pada radikalisme yakni sikap mendukung kekerasan dan tidak toleran atas nama agama.

Hingga kini Kementerian Pendidikan Nasional mengaku belum mendapatkan laporan pelajar melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Namun dukungan pada radikalisme ini perlu diwaspadai. Sebabnya radikalisme merupakan benih bagi tumbuhnya terorisme.

Terlebih sudah diketahui pelajar selama ini telah menjadi target rekruitmen teroris. Sejumlah siswa bahkan terlibat kegiatan terorisme. Pada 25 Januari 2011 misalnya, Densus 88 menangkap 5 tersangka teroris yang 4 di antaranya adalah pelajar di Krapyak, Klaten, Jawa Tengah.

"Pikiran radikal bisa menjadi benih-benih yang bisa mengarah pada tindakan terorisme," kata pengamat terorisme Andi Widjajanto.

Dukungan pada radikalisme saat ini makin berbahaya, karena pola teroris sudah berubah. Perubahan ini bisa dilihat pada kasus teror akhir-akhir ini seperti bom sepeda yang dilakukan Abdul Rabani alias Abu Ali, di Jl Raya Kalimalang September 2010 lalu. Lalu bom di Masjid Ad-Dzikra Mapolres Cirebon yang dilakukan M Syarif, dan kasus penemuan bom di Serpong yang dilakukan oleh kelompok Pepi.

Dalam tiga kasus ini, teroris tidak lagi terkungkung dalam satu jaringan dan organisasi seperti sebelumnya. Pada masa Noordin M Top dan Dr Azhari, ada seseorang yang melakukan indoktrinasi terhadap ‘calon pengantin’, sebutan bagi calon pelaku bom bunuh diri.

Tapi melihat kasus Serpong, bom sepeda, dan di Cirebon, maka proses indoktrinasi saat ini tidak lagi diperlukan. Aksi teroris kini lebih didorong rasa simpati pada aksi Noordin cs yang dikesankan untuk membela agama.

Abu Ali melakukan bom sepeda berdasarkan inisiatif sendiri. Alasannya sederhana, Ali merasa kesal terhadap polisi yang sering menangkap teman-temannya. Begitu juga pengakuan pelaku bom bunuh diri M Syarif yang kesal terhadap polisi.

"Ada perubahan seperti pada kelompoknya Pepi yang bersifat komunal paguyuban yang merupakan interaksi persoalan sehari-hari tanpa perlu bersentuhan dengan NII dan jaringan teroris lain, tapi mereka bersimpati," jelasnya.

Pengamat terorisme Wawan Purwanto menilai radikalisme pelajar sudah masuk dalam titik panas. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa menjadi ladang garapan teroris. Saat ini, menurut Wawan, masih puluhan perekrut teroris yang masih berkeliaran bebas.

"Ya orang seperti Saefudin Juhri (perekrut teroris) yang masih muda-muda itu masih banyak, puluhan orang belum tertangkap," kata Wawan.


Jangan Tekan Anak

Lalu mengapa radikalisme menjangkiti pelajar kita?

Para pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), ditinjau dari segi umur memang berada pada usia yang labil. Semangat mereka masih sangat menggebu-gebu termasuk dalam hal mempertahankan atau membela kepercayaan yang dianut.

Semangat menggebu-gebu itu bila tidak mendapatkan pengarahan dan penyaluran yang positif akan mudah dibelokkan oleh kelompok tertentu. Di sinilah peran guru dan orang tua sangat penting untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif.

"Jika anak-anak tidak mendapatkan lingkungan kondusif akan mudah larut kepada pihak-pihak yang akan mengarahkan pada tindakan yang negatif," kata psikolog anak Seto Mulyadi kepada detikcom.

Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang menghargai bakat anak dan tidak memojokkan anak. Guru semestinya tidak cuma melihat prestasi siswanya dari sisi akademik tapi juga bakat yang dimiliki sang siswa.

"Jangan menekan anak-anak. Jangan melihat prestasi anak dari sisi akademik, mereka yang pandai bernyanyi, menggambar, mereka semuanya perlu diapresiasi,” terang pria yang akrab disapa Kak Seto ini.

Wawan juga setuju lingkungan yang kondusif bisa menangkal radikalisme. "Besar tidaknya kemungkinan seorang pelajar menjadi seorang yang bertindak radikal, maka hal itu tergantung pada ajakan-ajakan yang berada di lingkungan sekitar,” pungkasnya.


Kemdiknas akan melakukan pengkajian kembali pola pendidikan di sekolah. Sekolah semestinya menjadi tempat untuk menumbuhkan rasa persahabatan dan menghormati perbedaan. Maka dalam proses belajar mengajar, semangat strategi pengajaran inklusif harus menjadi pegangan guru.

"Proses  belajar dan metode penyampain pesan kepada anak yang tidak mengarah pada timbulnya rasa permusuhan kepada pihak yang berbeda baik itu fisik dan khususnya pada perbedaan agama," kata Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal kepada detikcom.

Kemdiknas juga meminta sekolah-sekolah agar memberi perhatian pada kegiatan ekstrakulikuler.Program-program kerja ektsrakulikuler harus sepengetahuan guru pembimbing. Ini untuk memudahkan guru memantau siswanya dan menutup ruang kosong tempat timbulnya benih-benih radikalisme pada siswa.

"Kegiatan ekstrakulikuler yang ramah, tentunya akan berimbas pada tertutupnya upaya penyimpangan yang mengarah tindakan atau sikap radikalisme," jelas Faisal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar