Senin, 09 Mei 2011

TKW di Arab Ada yang Bekerja Sebagai Penari dan Gadis Panggilan

Tidak hanya bekerja sebagai pembantu, TKW asal Indonesia juga mempunyai kerjaan sampingan yang bisa menghasilkan uang banyak. Kerja sampingan TKW tersebut adalah menjadi  penari dan gadis panggilan.

"Sudah jadi rahasia umum di sana (Arab Saudi) ada yang seperti itu yang dipanggil sebagai gadis penari dan gadis yang dipanggil," ujar Enong seorang TKW yang baru saja tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (4/5/2011).

Enong bersama 2.349 TKI lainnya menumpang KM Labobar untuk kembali ke tanah air dari Arab Saudi. Enong menerangkan, dirinya mengetahui hal tersebut dari seorang rekannya yang pernah ditawari oleh seseorang untuk menjadi penari dan gadis panggilan.

Biasanya, gadis-gadis yang ditawari tersebut adalah para TKW yang kabur dari rumah majikannya dan tidak mempunyai  pekerjaan.

"Di Handawiyah dan Hassofah ada di sana. Mereka biasanya berkumpul di salah satu kontrakan," terangnya.

Pengalaman senada disampaikan Sumiati, TKW yang bekerja Jeddah. Dia juga pernah mendengar adanya penari dan gadis panggilan asal Indonesia di Arab Saudi. Para TKW tersebut biasanya dijemput ke luar oleh seseorang. Tarif yang diberikan untuk kencan semalam sebesar 500 hingga 600 Real.

"Banyak orang sana yang juga menginginkan orang Indonesia," kata Sumiati.

Dalam perjalanan menuju ke Indonesia, Sumiati menceritakan, sesama TKW banyak bercerita tentang pengalamannya di Arab. Teman yang dijumpai di KM Labobar tersebut juga menyinggung tentang kerjaan sebagai penari dan gadis panggilan.

"Katanya dia pernah bekerja sebagai mucikari. Dia menampung beberapa orang yang dipekerjakan dan dulunya dia juga bekerja seperti itu," terangnya.

Nikah Kontrak

Fenemona yang menarik lainnya adalah menikah kontrak di Arab Saudi. Biasanya para TKW ingin melakukan kontrak karena ingin mengejar mahar yang akan diterimanya.

"Mereka kan biasanya ingin ambil maharnya saja dan setelah itu pergi," kata Enong.

Enong menjelaskan, nikah kontrak dilakukan untuk melegalkan hubungan badan dan bagi TKW sendiri mendapatkan tunjangan hidup dari pasangannya.

Enong juga menyampaikan, bahwa ada beberapa TKW yang memang menikah dengan pekerja laki-laki di Indonesia dan ada juga yang nikah kontrak dengan membawa pulang anaknya ke Indonesia.

"Saya hamil sekarang. Suami saya Indonesia dan bekerja di Arab," jelasnya.

Nah seandainya ada TKW yang menikah dengan cara kawian kontrak tidak akan mungkin mengakui anaknya dari hasil kawin kontrak dengan pria Arab.

"Mereka pasti malu mas. Lihat saja banyak yang bawa pulang anak yang mukanya mirip Arab

Oleh-Oleh Kisah Pilu TKW dari KM Labobar foto

Pukul 09.00 WIB pagi di suatu hari pada tahun 2009, dengan menggunakan seprai sebagai tali, Dede Kornelis (28) memanjat jendela rumah majikannya di Jeddah, Arab Saudi. Dede hendak kabur dari rumah majikannya karena tidak tahan dengan perlakuan yang diterimanya.

"Saya sering dipukul dan saya dikunci di dalam kamar sehingga tidak bisa keluar," ujar Dede saat baru saja tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (4/5/2011).

Dede bersama 2.349 TKI lainnya menumpang KM Labobar untuk kembali ke tanah air dari Arab Saudi.

Cerita Dede tidak sampai di situ, sebelum melarikan diri, Dede bekerja dengan seorang majikan Arab selama 1,5 tahun. Selama waktu tersebut, Dede mengaku tidak pernah diberikan makanan secara layak, apalagi gaji.

Didorong oleh rasa lapar yang teramat sangat, Dede terpaksa mencuri roti kecil milik majikannya yang berada di atas meja. Apes, sang majikan mengetahui ulah Dede dan langsung memarahi dan menyiksa pria asal Purwokerto itu.

"Saya langsung ditarik ke WC dan mulut saya diberi selang dan dimasukkan ke dalam selang itu air keran dan saya harus minum itu," tutur Dede yang tak kuasa menahan air matanya.

Pernah juga suatu ketika, sang majikan tidak mengirimkan surat yang ditipkan Dede untuk keluarganya. Surat itu dibuang majikanya ke tong sampah.

"Surat saya bahkan diludahi di dalam tong sampah," kata Dede.

Berapa uang yang dibawa Dede yang tersisa saat sampai di Jakarta pukul 04.30 WIB pagi tadi? Dari hasil bekerjanya di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah asalnya itu, Dede hanya membawa uang Rp 15.000.

"Hanya tinggal ini uang saya," ujarnya.

Jainatun (42) juga memiliki nasib setali tiga uang dengan Dede. TKW asal Jawa Timur ini dibuang majikannya di daerah Hijar, Arab Saudi.

"Saat itu saya hanya membawa sebuah tas kecil dan sebuah alquran," jelasnya.

Jainatun berkisah pernah diikat dan dikeroyok keluarga majikannya. Dia bahkan dipanggil 'majnun' yang dalam bahasa Indonesia berarti gila.

Dirinya pun sempat 'disewakan' oleh majikannya ke rumah-rumah tetangga sekitar. Getirnya, uang kerja keras Jainatun tidak ditilep sang majikan.

"Saya pulang ke Indonesia hanya membawa baju yang saya pakai dan sebuah tas kecil. Saya tidak ingin kembali ke sana lagi," jelasnya.

Jainatun menyebutkan, banyak TKW asal Indonesia yang bernasib sama dengan dirinya. Selain tidak menerima gaji, banyak yang mendapatkan perlakuan kasar, pelecehan seksual, hingga pembunuhan.

Dari Striptis Hingga Dimaki Profesor Perancis

Studi banding anggota DPR ke luar negeri terus menuai protes. Kunjungan itu bak liburan masa reses yang menghabiskan uang rakyat, sementara hasilnya tidak jelas.

Komisi X yang membawahi olahraga, dan pariwisata, misalnya kedapatan berfoto-foto dan membeli tiket pertandingan Real Madrid di ke Stadion Santiago Bernabeu, Spanyol.

Lalu studi banding Komisi VIII ke Australia. Mereka hendak melakukan studi banding ke parlemen Australia, padahal parlemen di Negeri Kanguru itu sedang reses. Konyolnya lagi anggota DPR sempat membohongi mahasiswa Indonesia di sana soal email resmi Komisi VIII beralamat di komisi8@yahoo.com.

"Itu semakin memperjelas studi banding itu tidak ada gunanya. Itu hanya modus untuk jalan-jalan dan mendapatkan uang saku," ujar Kordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Banyak cerita minor tentang kelakuan wakil rakyat saat berkunjung ke luar ngeri. Pada 28 Juli 2005, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda memergoki anggota DPR dari Badan Legislatif jalan- jalan dan belanja barang mewah. Wakil rakyat pun terpotret sedang menenteng barang belanjaan merek Bally atau Gucci.

"Mereka tidak ada agenda di Belanda dan saat itu kami memang ingin menemui mereka untuk audiensi. Mereka 2 malam di Amsterdam," ujar mantan Ketua PPI Amsterdam 2004- 2005 Berly Martawardaya kepada detikcom.

Anggota DPR tidak mempunyai agenda resmi ke Amsterdam karena pada saat itu Parlemen Belanda yang berkedudukan di Den Haag juga sedang masa reses.

Hal senada juga dibeberkan mantan Ketua PPI Perancis Mahmud Syaltout. Sebelum mendatangi Amsterdam, anggota DPR itu sebenarnya hendak studi banding ke Perancis. Tidak jelas dalam urusan apa kunjungan itu. Namun, kedatangan anggota DPR itu telah jauh-jauh hari ditolak oleh PPI Perancis.

Ketua PPI saat itu (alm) Rudianto Ekawan, memerintahkan semua mahasiswa untuk datang ke KBRI Perancis dan melakukan aksi walk out serta membacakan surat protes atas kedatangan anggota DPR. Aksi ini diharapkan menjadi tamparan keras bagi wakil rakyat yang datang tanpa persiapan ke Perancis.

Anggota DPR tidak bisa memberikan penjelasan logis soal kedatangan mereka. Salah seorang juru bicara DPR menyatakan tujuan mereka untuk bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang pintar. Mereka juga memuji mahasiswa di luar negeri sebagai pemimpin bangsa dan juga merupakan konstituen mereka.

"Sebelum pidato selesai, teman saya, Rudianto AB interupsi dan membacakan surat protes dari PPI Prancis. Kemudian kita walk out. KBRI pun geger dan semua marah sama kita," cerita Mahmud.

Gara-gara kejadian itu semua jadwal kunjungan DPR di Belanda dan Belgia ikut dibatalkan. Akhirnya PPI Belanda memergoki para wakil rakyat itu asyik berbelanja.

Mahmud kembali menjadi guide untuk anggota DPR yang melakukan studi banding mengenai masalah anggaran ke Perancis pada 2006. Sebenarnya, kedatangan anggota DPR bukan ke Perancis, tetapi hendak menonton pertandingan final Piala Dunia di Jerman antara Italia melawan Perancis. Karena datang lebih awal, mereka menyempatkan diri melancong ke negeri mode tersebut.

Rombongan ternyata tidak hanya terdiri dari anggota DPR, tapi juga banyak terdapat anggota DPRD dari DKI Jakarta. Selama berada di Perancis, para wakil rakyat itu menghamburkan uang dengan berbelanja merek mahal semisal Louis Vitton, Pierre Cardin, dan membeli jam tangan mahal yang harganya dapat membiayai uang kuliah seorang mahasiswa selama setahun.

KBRI Perancis yang dipimpin oleh (alm) Arizal Effendi juga menolak memfasilitasi anggota DPR. Para anggota dewan dianggap sebagai rombongan liar.

Saat itu, salah seorang anggota DPR sempat meminta untuk dicarikan gadis panggilan di Perancis. Mahmud menjelaskan, di Perancis tidak ada pusat lokalisasi seperti Red Light di Belanda.Si anggota DPR kemudian meminta ditunjukkan pusat tarian striptis di Perancis. Mahmud pun menyarankan agar mereka pergi sendiri ke Moulin Rouge.

Saat akan kembali ke Jerman, ketua rombongan DPR itu nyeletuk ada yang kurang saat di Perancis. "Apa yang kurang, belum beli Hermes ya atau barang apalagi yang tidak ada?" kata salah seorang anggota rombongan menanggapi celetukan ketuanya. "Bukan, kita belum sempat foto-foto di Menara Eiffel," jawab si ketua santai.

Pada 2007, anggota DPR mendapat makian Guru Besar Ilmu Tata Negara Universitas Sorbon Perancis Prof Edmond Jouve. Saat itu, beberapa anggota DPR ke Perancis untuk melakukan studi banding tentang Kementerian Negara dan Dewan Penasihat.

Mahmud yang mahasiswa Ilmu Tata Negara pun meminta Jouve untuk menjelaskan sistem tata negara di Perancis dan Indonesia. Dalam pertemuan di KBRI Perancis itu, Jouve menjelaskan sistem tata negara Perancis dan Indonesia sangat berbeda.

Mendengar paparan itu, seorang anggota dewan nyeletuk mereka salah mendatangi Perancis untuk studi banding. Anggota dewan lainnya pun terbahak-bahak mendengar celetukan itu.

Melihat hadirin tertawa, Jouve bertanya. Penerjemah menjelaskan celetukan sang anggota dewan. Mendapat penjelasan itu Jouve marah. "Kalian semua goblok," maki Jouve dalam bahasa Perancis.

Sang profesor lantas mengingatkan Indonesia bukanlah negara kaya dan masih berada di dalam kategori negara berkembang, kenapa malah menghamburkan uang jika tidak ada hasilnya.

Kualitas DPR Sekarang Terendah Sepanjang Sejarah

Masyarakat mulai meragukan wawasan dan kredebilitas yang dimiliki anggota DPR. Keraguan tersebut bukan tanpa alasan sebab anggota dewan banyak melakukan tindakan bodoh dan konyol.

Sebut saja salah satunya pembohongan email yang dilakukan Komisi VIII DPR
di depan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Australia atau Komisi X yang membawahi olahraga, dan pariwisata kedapatan berfoto-foto dan membeli tiket pertandingan Real Madrid di ke Stadion Santiago Bernabeu, Spanyol.

Sejak Pemilu 2009 lalu, wajah-wajah yang menduduki kursi di DPR sebenarnya rata-rata diisi oleh wajah baru. Bahkan, tingkat pendidikan yang menjadi latar belakang wakil rakyat itu rata-rata berada di level strata satu. Sayangnya, tingkat pendidikan tidak berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dihasilkan di gedung DPR.

"Ini memang memprihatinkan, kualitas DPR kita sangat jauh merosot pada titik terendah di sejarah Indonesia," ujar pengamat politik Yudi Latief kepada detikcom.

Dulu dikenal idiom tentang politik yaitu berpolitik untuk hidup. Sayang hal tersebut tidak tercermin dari para anggota dewan sekarang. Tagline "Hidup dari politik" seakan telah menjadi penyakit yang tertanam di kepala wakil rakyat sekarang.

Proses berpikir yang ingin mendapatkan materi secara cepat telah menjangkiti seluruh wakil rakyat.

Ada beberapa hal mendorong hal tersebut. Pertama, pada politik yang mahal modal. Wakil rakyat yang duduk di DPR harus segera mencari sumber pendapatan lain untuk mengembalikan uang-uang yang dipergunakan saat Pemilu 2009 lalu.

Kedua, praktek untuk mendapatkan modal tambahan yang juga didukung oleh sistem politik anggaran yang berasal dari Kementerian Keuangan. Pada kunjungan kerja keluar negeri dan daerah, Kementerian Keuangan memberikan porsi yang cukup besar untuk pengalokasian dana.

Tanpa malu-malu, wakil rakyat memanfaatkan kesempatan tersebut dan memperoleh dana yang besar dari kunjungan per hari yang dilakukannya, terlebih pada kunjungan ke luar negeri.

"Maka dengan berbagai cara dicarilah studi banding dan sering tidak masuk akal. Misalnya kunjungan ke Yunani soal Etika. Kenapa Yunani? karena di Yunani sana barang-barang yang dijual murah, mereka bisa belanja," kata Yudi.

Kordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, anggota DPR saat ini memandang dirinya sebagai yang paling pintar. Hasil Pemilu 2009 telah menghasilkan wakil rakyat yang bertipe sering menghamburkan uang.

Menurut Sebastian, negara terlalu royal memberikan uang kepada anggota DPR.
Ketika dilakukan penyusunan anggaran, anggota DPR secara berjamaah mengalokasikan dana untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, dengan hasil yang didapatkan bisa dikatakan nol besar.

"Selama tidak ada kebijakan yang jelas soal politik anggaran, yang ada hanya kunjungan kerja yang bersifat foya-foya. Selama masih bersifa kolektif kunjungan kerja, dengan berangkat dalam jumlah yang banyak maka kunjungan kerja tidak akan pernah serius," tegas Sebastian.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan tidak menampik kekonyolan dalam studi banding DPR. Pemandangan Komisi X yang sedang berfoto-foto di depan Stadion Santiago Bernabeu dinilai Taufik sebagai tindakan yang mirip dengan tingkah anak Playgroup.

"Saya meminta agar jangan terkesan kunjungan tersebut kontraproduktif, inikan niatnya baik. Terkait perilaku anggota DPR, tentunya kunjungan ke luar negeri bukan kunjungan Playgroup, anggota DPR itu harus sudah matang," ujar Taufik.

Namun, Taufik meminta masyarakat untuk segera menghentikan polemik yang membicarakan tentang kekonyolan anggota DPR di luar negeri. Taufik tetap
berdalih bahwa kunjungan anggota DPR bersifat konstitusional.

Minggu, 01 Mei 2011

Buku (dan URL Pendek) Adalah 'Jendela Dunia'

Buku adalah jendela dunia. Kalimat ini sering sekali kita dengar atau baca di mana-mana. Ada satu quote dalam bahasa asing, yang mungkin terdengar lebih keren meski punya arti yang mirip yang menjadi salah satu favorit saya; “Without books, history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at stand still

Tanpa buku, tanpa membaca, bayangkan betapa datar dan sempitnya dunia kita. Sayangnya, tidak semua orang suka membaca. Di antara bangsa-bangsa lain di dunia, kita harus akui bahwa bangsa kita adalah salah satu yang masuk golongan pemalas untuk urusan satu ini. Bukan berarti semua orang Indonesia gak mau baca buku. Ini secara umum aja, sih.

Saat ini, informasi bisa kita peroleh dari mana saja. Printed materials, televisi, radio, internet. Bahkan ada yang bilang bahwa setiap kita adalah media. Masing-masing kita adalah sumber informasi buat orang lain.

Kalau anda aktif berkicau di twitter, atau setidaknya rajin mengamati pergerakan linimasa di channel yang satu ini, anda pasti paham bahwa pendapat tersebut ada benarnya. Siapa pun dapat menjadi corong, sumber gosip, sumber informasi, penting atau tak penting, apa pun isi kicauannya.

Jika satu orang saja berteriak di twitter bahwa terjadi gempa di daerahnya, dalam hitungan menit bahkan detik, kabar tersebut akan menggelinding tak terbendung, hingga jauh ke belahan dunia yang lain.

Belasan jam sehari terkoneksi dengan internet dan medium baru yang sering kita sebut social media, membuat saya mengerti bahwa, suka tidak suka, kita memang malas membaca. Kabar yang tak jelas valid atau tidaknya, apalagi jika datang dari seseorang yang dikenal mumpuni dan dewa di ranah maya, tak bisa dihindari, akan langsung diretweet oleh para followernya.

Dan bola salju pun bergulir. Berita yang belum tentu benar itu pun akan diamini semua orang, dan tiba-tiba saja menjadi isu paling panas.

Padahal kalau sedikit saja kita bersedia merepotkan diri dengan mengklik link berita dimaksud –yang biasanya berupa shortened URL seperti http://bit.ly/ahsjsha atau http://de.tk/GpT7a misalnya -- kita akan tahu apakah berita tersebut benar atau tidak, layak disebarkan  atau tidak.

Kita tahu betapa reaktifnya para pengguna twitter, kan? Dengan sedikit kehati-hatian, barangkali masing-masing kita dapat membantu meminimalisir kerusakan yang tak perlu.

Dialog ala twitter berikut mudah-mudahan cukup memberikan penjelasan tentang kemalasan kita.

A: Next event, kita akan ke Semarang, Bandung, Denpasar. Untuk pendaftaran dan info lengkap, cek http://de.tk/ugsD8y. See you around!
B: Gimana cara ikutannya? Denpasar kapan, dong?
A: silakan klik link yang kita tweet tadi ya mbak..
B : Oooo...

Barangkali quote lawas tapi benar tentang buku tadi sudah saatnya di-update. “Buku adalah jendela dunia. Demikian juga shortened URL.”

Tentang Penulis: Venus adalah seorang blogger dan social media specialist. Ia bisa dihubungi di http://venus-to-mars.com atau melalui akun @venustweets di Twitter

Ada Yang Ditangkap, Ada Yang Jadi Pengantin

Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menyebut hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan radikal atas nama agama. Beberapa pengamat terorisme dan intelijen melihat reaksi kaum muda tersebut sebagai benih-benih pemikiran yang bisa mengarah pada tindakan terorisme.

"Bisa jadi demikian kalau kita tidak segera melakukan counter,” ujar pengamat intelijen Wawan Purwanto saat dihubungi detikcom.

Melihat ke belakang, setidaknya tercatat ada beberapa anak yang masih di bawah umur yang terlibat dalam jaringan terorisme bahkan ikut terlibat dalam serangan bom bunuh diri.

Pada tahun 2007, dua orang remaja yaitu Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 karena diduga ikut terlibat dalam menyembunyikan Taufik Kondang, salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana. Pengadilan Negeri Yogykarta lalu membebaskan keduanya setelah Tim Pengacara Muslim (TPM) mengajukan permohonan.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya 17 Juli 2009, JW Marriot dan Ritz Charlton diledakkan oleh aksi bom bunuh diri. Bom yang meledak di kedua hotel tidak berselang beberapa lama. Setelah ledakan pertama di Hotel JW Marriot, ledakan kedua kembali terjadi restoran Airlangga Hotel Ritz-Carlton. 9 orang dipastikan tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat peristiwa naas tersebut.

Siapa sangka, salah seorang pelaku bom bunuh diri tersebut adalah seorang remaja. Bomber yang ikut meledakkan dirinya di Hotel JW Marriot adalah seorang remaja yang bernama Dani Dwi Permana (18) dan sedangkan pelaku pembom di Hotel Ritz-Carlton adalah Nana Ikhwan Maulana (28). Saat menjadi 'pengantin' itu Dani baru saja lulus dari SMA Yadika Bogor, Jabar.

Dari berbagai cerita teman-teman dan tetangganya, Dani dibesarkan dari keluarga yang tidak mampu dan broken home. Ayah Dani, adalah seorang terpidana dalam kasus pencurian sepeda motor dan mendekam di dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor. Masuknya Sang Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga ke dalam penjara kontan membuat ekonomi keluarga Dani menjadi kocar-kacir.

Ibu kandung Dani kemudian memutuskan untuk berhijrah ke Kalimantan dan menetap di sana bersama saudara kandungnya. Dani sendiri mumutuskan untuk tetap tinggal bersama kakaknya di Telaga Kahuripan, Bogor. Dani kemudian menghabiskan hari-harinya dengan ikut bergabung bersama Remaja Mesjid dan Karang Taruna setempat.

Perkenalan Dani dengan Syaifuddin Juhri di Masjid As Surur berujung ada direkrutnya Dani sebagai ‘Pengantin’ sebutan bagi pelaku bom bunuh diri yang berakhir pada kematian.

Tidak hanya Dani, di Klaten, Jawa Tengah pada 25 Januari 2011, Arga Wiratama  (17) dibekuk oleh Densus 88 bersama ketujuh orang lainnya dalam kasus teror bom di wilayah Klaten, Sleman, dan Yogyakarta. Arga yang masih bersekolah di SMK 2 Klaten, Jawa Tengah, kemudian di vonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Klaten, Jawa tengah.

Tidak hanya Arga, beberapa orang lainnya yang ikut ditangkap adalah Joko Lelono, Nugroho Budi, Tri Budi Santoso, Yuda Anggoro. Roki Apris Dianto, yang kesemuanya berada diantara umur 16 hingga 20 tahun.

Pada era Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD), hingga tahun 2000, kata BHD, polisi telah menangkap lebih dari 600 teroris. Jumlah tersebut belum terhitung dengan beberapa penangkapan yang dilakukan Densus 88 saat Kapolri saat ini Jenderal Timor Pradopo.

"Dari tahun 2000, 563 teroris telah diajukan ke pengadilan, 44 tewas ditembak, dan 10 bunuh diri. Itu gambaran mereka-mereka yang sudah berhasil kita tangkap, diproses ke pengadilan, termasuk para pelaku bom bunuh diri,” kata BHD dalam jumpa pers di Mabes Polri, September 2010.

Dari 563 pelaku teroris yang diadili, 471 terdakwa telah dijebloskan ke penjara. Namun, 245 di antaranya sudah bebas. "Yang sudah bebas ini menjadi warning kita semua, sebab yang militan akan kembali bergabung dengan kelompok mereka," tegas BHD.

Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabid Penum) Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar membenarkan beberapa teroris masih remaja dan masih sekolah, seperti yang telah ditahan di Klaten, Jawa Tengah. Sayangnya, Boy enggan merinci data-data para teroris yang ditahan dan latar belakang pendidikannya.

Menurut Boy, remaja yang terjerumus dalam dunia terorisme adalah remaja yang salah dalam pergaulan di lingkungan sekitarnya. Boy membantah, latar belakang kemiskinan, latar belakang pendidikan, ataupun broken home menjadi penyebab para remaja terlibat dalam aksi terorisme.

Sangat Berbahaya, Pelajar Radikal Jadi Garapan Teroris

Radikalisme pada pelajar Jakarta sudah pada taraf mencemaskan. Berdasarkan survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) sebanyak 48,9 persen siswa di Jakarta setuju pada radikalisme yakni sikap mendukung kekerasan dan tidak toleran atas nama agama.

Hingga kini Kementerian Pendidikan Nasional mengaku belum mendapatkan laporan pelajar melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Namun dukungan pada radikalisme ini perlu diwaspadai. Sebabnya radikalisme merupakan benih bagi tumbuhnya terorisme.

Terlebih sudah diketahui pelajar selama ini telah menjadi target rekruitmen teroris. Sejumlah siswa bahkan terlibat kegiatan terorisme. Pada 25 Januari 2011 misalnya, Densus 88 menangkap 5 tersangka teroris yang 4 di antaranya adalah pelajar di Krapyak, Klaten, Jawa Tengah.

"Pikiran radikal bisa menjadi benih-benih yang bisa mengarah pada tindakan terorisme," kata pengamat terorisme Andi Widjajanto.

Dukungan pada radikalisme saat ini makin berbahaya, karena pola teroris sudah berubah. Perubahan ini bisa dilihat pada kasus teror akhir-akhir ini seperti bom sepeda yang dilakukan Abdul Rabani alias Abu Ali, di Jl Raya Kalimalang September 2010 lalu. Lalu bom di Masjid Ad-Dzikra Mapolres Cirebon yang dilakukan M Syarif, dan kasus penemuan bom di Serpong yang dilakukan oleh kelompok Pepi.

Dalam tiga kasus ini, teroris tidak lagi terkungkung dalam satu jaringan dan organisasi seperti sebelumnya. Pada masa Noordin M Top dan Dr Azhari, ada seseorang yang melakukan indoktrinasi terhadap ‘calon pengantin’, sebutan bagi calon pelaku bom bunuh diri.

Tapi melihat kasus Serpong, bom sepeda, dan di Cirebon, maka proses indoktrinasi saat ini tidak lagi diperlukan. Aksi teroris kini lebih didorong rasa simpati pada aksi Noordin cs yang dikesankan untuk membela agama.

Abu Ali melakukan bom sepeda berdasarkan inisiatif sendiri. Alasannya sederhana, Ali merasa kesal terhadap polisi yang sering menangkap teman-temannya. Begitu juga pengakuan pelaku bom bunuh diri M Syarif yang kesal terhadap polisi.

"Ada perubahan seperti pada kelompoknya Pepi yang bersifat komunal paguyuban yang merupakan interaksi persoalan sehari-hari tanpa perlu bersentuhan dengan NII dan jaringan teroris lain, tapi mereka bersimpati," jelasnya.

Pengamat terorisme Wawan Purwanto menilai radikalisme pelajar sudah masuk dalam titik panas. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa menjadi ladang garapan teroris. Saat ini, menurut Wawan, masih puluhan perekrut teroris yang masih berkeliaran bebas.

"Ya orang seperti Saefudin Juhri (perekrut teroris) yang masih muda-muda itu masih banyak, puluhan orang belum tertangkap," kata Wawan.


Jangan Tekan Anak

Lalu mengapa radikalisme menjangkiti pelajar kita?

Para pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), ditinjau dari segi umur memang berada pada usia yang labil. Semangat mereka masih sangat menggebu-gebu termasuk dalam hal mempertahankan atau membela kepercayaan yang dianut.

Semangat menggebu-gebu itu bila tidak mendapatkan pengarahan dan penyaluran yang positif akan mudah dibelokkan oleh kelompok tertentu. Di sinilah peran guru dan orang tua sangat penting untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif.

"Jika anak-anak tidak mendapatkan lingkungan kondusif akan mudah larut kepada pihak-pihak yang akan mengarahkan pada tindakan yang negatif," kata psikolog anak Seto Mulyadi kepada detikcom.

Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang menghargai bakat anak dan tidak memojokkan anak. Guru semestinya tidak cuma melihat prestasi siswanya dari sisi akademik tapi juga bakat yang dimiliki sang siswa.

"Jangan menekan anak-anak. Jangan melihat prestasi anak dari sisi akademik, mereka yang pandai bernyanyi, menggambar, mereka semuanya perlu diapresiasi,” terang pria yang akrab disapa Kak Seto ini.

Wawan juga setuju lingkungan yang kondusif bisa menangkal radikalisme. "Besar tidaknya kemungkinan seorang pelajar menjadi seorang yang bertindak radikal, maka hal itu tergantung pada ajakan-ajakan yang berada di lingkungan sekitar,” pungkasnya.


Kemdiknas akan melakukan pengkajian kembali pola pendidikan di sekolah. Sekolah semestinya menjadi tempat untuk menumbuhkan rasa persahabatan dan menghormati perbedaan. Maka dalam proses belajar mengajar, semangat strategi pengajaran inklusif harus menjadi pegangan guru.

"Proses  belajar dan metode penyampain pesan kepada anak yang tidak mengarah pada timbulnya rasa permusuhan kepada pihak yang berbeda baik itu fisik dan khususnya pada perbedaan agama," kata Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal kepada detikcom.

Kemdiknas juga meminta sekolah-sekolah agar memberi perhatian pada kegiatan ekstrakulikuler.Program-program kerja ektsrakulikuler harus sepengetahuan guru pembimbing. Ini untuk memudahkan guru memantau siswanya dan menutup ruang kosong tempat timbulnya benih-benih radikalisme pada siswa.

"Kegiatan ekstrakulikuler yang ramah, tentunya akan berimbas pada tertutupnya upaya penyimpangan yang mengarah tindakan atau sikap radikalisme," jelas Faisal.